Rakyat Filipina Mulai Melawan Narkoba.

Presiden Filipina Rodrigo Duterte masih menikmati bulan madu politik penuh darah. Kebijakannya memerintahkan pembunuhan pengedar dan pecandu narkoba dipuja-puji, baik oleh rakyat hingga politikus. Di negara lain, tewasnya nyaris 2.000 orang secara misterius akan dianggap sebagai kekejian rezim otoriter. Tapi benarkah tindakan sang presiden didukung semua orang?

Sebagai perbandingan, Diktator Ferdinand Marcos yang berkuasa di Filipina sepanjang kurun 1965 hingga 1986 secara resmi membunuh 3.257 orang atas tuduhan melawan pemerintah. Separuh lebih jumlah korban tewas ini dicapai pemerintahan Duterte kurang dari tiga bulan sejak dilantik.

Dengan semua data ini, survei bulan lalu menunjukkan politikus 71 tahun itu sebagai pemimpin Filipina dengan tingkat dukungan tertinggi - mencapai 91 persen - di kalangan pemilih sepanjang sejarah negara mayoritas Katolik itu.

"Mereka yang dibunuh adalah sampah masyarakat. Apa yang dilakukan Duterte itu baik," kata Jamie Co, warga Distrik Pasig di Ibu Kota Manila seperti dilansir laporan khusus majalah TIME, Sabtu (27/8).

Di balik itu semua, tetap ada yang berani melawan pembunuhan massal tanpa peradilan ala pemerintah Filipina. Walau jumlahnya masih kecil, sekelompok rakyat menyuarakan protes terbuka pada Duterte. Mereka terdiri dari ibu-ibu yang suaminya dibunuh tanpa pengadilan, senator di parlemen, pegiat Hak Asasi Manusia, romo-romo gereja, hingga rakyat miskin perkotaan.

Senator Leila de Lima termasuk anggota parlemen yang masih berani bersuara lantang menentang Duterte. Dia menyatakan pembunuhan banyak orang atas nama perang melawan narkoba sudah kelewatan. Demi melancarkan agenda perang melawan narkoba, Duterte ternyata memotong 25 persen anggaran kesehatan, perburuhan, serta politik luar negeri. Alokasi dana itu dialihkan untuk kepolisian dan militer.

"Kita selangkah lagi akan memiliki tiran di negara ini," ujarnya kepada TIME.

Untuk semua kritiknya itu, Duterte balik menuding Lima sebagai perempuan sundal serta pernah menerima dana kampanye dari bandar narkoba.

Human Rights Watch (HRW) lembaga pemantau hak asasi internasional, menyatakan diskusi soal HAM kini disoroti negatif oleh rakyat Filipina. Mayoritas mendukung buta sang pemimpin dengan alasan kejahatan harus dilawan memakai kekerasan. "Presiden Filipina telah berperan menciptakan masyarakat yang toleran pada kekerasan," kata Phelim Kine, wakil Direktur HRW Asia saat dihubungi CNBC.

Sebetulnya, seperti apa memang kondisi kejahatan narkoba di Filipina? Apakah memang sangat gawat sehingga pembunuhan harus menjadi jalan keluar.

Data dari Badan Anti-Narkotika PBB (UNODC) menunjukkan populasi pecandu kokain atau opium di Filipina hanya berada di level 0.05, jauh di bawah Australia, Amerika Serikat, atau Inggris yang semuanya melewati angka 2.00.

Ricky Alabon (45), adalah salah satu orang yang ditembak mati sosok misterius karena pernah menjadi pecandu narkoba. Semua tetangga di distrik utara Manila mengakui Ricky sudah lama berhenti sebagai pemakai. Tapi penjual pulsa seluler ini tiba-tiba dihabisi oleh sekelompok orang bersenjata.

Di jasadnya ditemukan 11 luka tembak. Ricky tidak pernah menjadi pengedar. "Dia dibunuh seperti binatang. Apakah perang melawan narkoba harus seperti ini? Membunuh semua orang termasuk yang sudah bertobat?" kata Richard, adik kandung Ricky.

Maricar, anak kandung Ricky, saat pemilu 9 Mei lalu memilih Duterte. Dia kecewa, tulang punggung keluarga itu tewas begitu saja tanpa kejelasan apa salahnya.

"Harapan yang dulu saya punya telah hilang. Bapak saya butuh dibantu, bukan dibunuh," ujarnya.

Sikap Duterte ini sebetulnya tidak mengejutkan. Sejak masa kampanye sampai resmi dilantik, mantan Wali Kota Davao itu selalu fokus pada janji menghabisi pengedar. "Saya tidak peduli tentang hak asasi manusia, percayalah," ujarnya.

Dia juga pernah berkata pecandu layak dibunuh. "Saya melakukan pekerjaan kotor yang berani dilakukan orang tua si pecandu," kata Duterte dalam pidatonya dua bulan lalu.

Kepala Polisi Filipina, Jenderal Ronald dela Rosa, secara tersirat mengakui pihaknya bertanggung jawab atas pembunuhan massal pengedar narkoba selama nyaris tiga bulan terakhir. Tidak hanya itu, dia mengajak para pencandu bertobat dengan cara membunuh jaringan pengedar.

Imbauan kontroversial itu disampaikan Ronald saat menggelar jumpa pers disiarkan televisi hari ini, Jumat (26/8). "Sebaiknya anda (para pencandu) datangi rumah-rumah mereka, tuangkan bensin dan bakarlah semuanya untuk melampiaskan kemarahan anda," ujarnya.

"Bandar dan pengedar merampok uang anda, menghancurkan otak kalian. Bukankah kalian ingin membunuh mereka? Silakan. Membunuh mereka diizinkan sebab anda semua adalah korban."

Demi meraih simpati masyarakat, bahwa yang dihabisi bukan cuma penjahat kelas teri, Duterte mengumumkan nama 158 pejabat diduga membekingi bisnis narkoba. Dia memerintahkan polisi menangkap atau sekalian menembak mati mereka jika berani kabur.

Namun kebijakan yang sekilas berani itu bukannya tanpa cacat.

Hakim Agung Filipina Maria Lourdes Sereno membuat surat terbuka, mengingatkan sang presiden jika 158 nama itu harus ditangkap dengan dakwaan jelas, memakai surat perintah penahanan, serta ada bukti awal memberatkan. Tanpa semua prasyarat itu, Duterte sama saja menjadi tiran menangkapi lawan politik.

Saran Sereno dianggap angin lalu. "Hakim Agung kita pasti sedang bercanda," kata Duterte pada 9 Agustus lalu di Manila seperti dilansir Inquirer.

Pastur gereja di Cebu turut mengecam kebijakan Duterte. Dia mendukung perang melawan narkoba, tapi bukannya tanpa mengikuti prosedur hukum. "Kenapa pengedar tidak ditangkap tapi langsung dibunuh? Kondisi seperti inilah yang disebut kekacauan hukum."

Selain membunuh semua orang pernah bersentuhan dengan narkoba, Duterte tidak memiliki solusi lain. Fasilitas rehabilitas pecandu di Filipina sekarang semuanya penuh. Hal ini diakui sendiri oleh pejabat pemerintah. Jika perang melawan narkoba masih terjadi, penjara di Filipina akan kelebihan beban 158 persen.

"Jumlah fasilitas rehabilitasi belum bertambah, sementara banyak pecandu menyerahkan diri," kata Resurrection Morales, juru bicara Badan Pemasyarakatan Filipina.

Albert Gonzales, seorang pekerja serabutan di Manila, punya cara sendiri memprotes kebijakan Duterte. Dia ke kantor polisi melaporkan Duterte atas pembunuhan Omeng Mariano, tetangganya di kampung St. Quiteria Manila, bulan lalu, oleh orang-orang bertopeng. Dia tak peduli polisi akan menganggapnya melindungi pecandu.

"Saya tidak peduli jika dia presiden. Orang punya kesempatan bertobat, sebab mereka semua manusia bukan binatang," kata Gonzales.
Previous
Next Post »

Game android online